Pecahnya "Bandung Lautan Api"
Rachma Ahadina Putri (201915500122) - R4B - Program Studi Pendidikan Searah- Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial - Universitas Indraprasta PGRI
Dosen Pengampu: Akhmad Syaekhu Rakhman
Monumen Bandung Lautan Api |
Peristiwa Bandung Lautan Api seringkali terdengar di telinga masyarakat Indonesia karena lagu wajib yang berjudul "halo-halo Bandung" karya penyair Ismail Marzuki. Tetapi jarang sekali masyarakat yang mengetahui maksud dibalik lirik semangat di lagu tersebut. Lagu tersebut merupakan gambaran peristiwa kelam yang menimpa rakyat Indonesia khususnya masyarakat Bandung pada kala itu. Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia khususnya bagi warga Bandung Selatan di awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Toer, dkk (1999: 154) mengatakan “1946 Maret 24. Bandung Lautan Api dikobarkan oleh Laskar dan tentara. Tentara Membakar sendiri markasnya, asrama-asramanya, dan bangunan-bangunan penting. Rakyat banyak yang membakar sendiri rumahnya”. Peristiwa pembakaran rumah-rumah warga dan gedung-gedung penting ini dilakukan sebagai upaya bentuk perlawanan warga Bandung terhadap ultimatum sekutu. Ultimatum inilah yang menjadi titik awal dari operasi bumi hangus yang kini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api, untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut pemerintah kota Bandung mendirikan monumen yang bernama Monumen Bandung Lautan Api.
Sejak itu, tentara Sekutu membagi Kota Bandung menjadi dua wilayah, yaitu Bandung utara dan Bandung selatan. Kota Bandung bagian utara menjadi wilayah kekuasaan Sekutu. Sedangkan, Bandung Selatan merupakan kekuasaan pemerintah RI. Pengosongan Bandung Utara dilakukan karena tentara Sekutu hendak membangun markasnya di wilayah tersebut. Meski ada ultimatum dari Sekutu, pejuang di Bandung tetap melawan tentara Sekutu secara sporadis. Selama bulan Desember 1945, terjadi beberapa pertempuran di berbagai tempat di wilayah Bandung, antara lain di Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki, dan Viaduct. Dalam pertempuran sporadis itu, Sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api, tetapi gagal. Sekutu juga berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater. Mereka pun terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar, dekat pusat Kota Bandung. Memasuki awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar meski masih sporadis. Pada awal tahun 1946 pula, nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) pada 1 Januari 1946 dan kemudian Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946.
Puncak kekesalan Sekutu dipicu oleh serangan tentara RI Batalion Beruang Merah dan Batalion Bandung Utara pimpinan Mayor Sukanda Bratamanggala di Lembang. Serangan TRI itu menggunakan mortir untuk menembaki Sekutu dengan sasaran utama Gedung DVO dan Gedung Sate (Markas Divisi ke-23 Sekutu) pada 20 Maret 1946. Namun, serangan mortir ini “nyasar” puluhan meter, misalnya jatuh ke perumahan Belanda sekitar Jaarbeurs atau ke kamp RAPWI di Jalan Riau sehingga menimbulkan korban sipil. Sekutu membalas dengan serangan udara dan tembakan artileri secara gencar ke arah Tegallega, markas Batalion II Sumarsono di Bandung Selatan. Pihak Inggris berupaya menghubungi Panglima Divisi III Kolonel AH Nasution, tetapi Nasution selalu menolak mengadakan pertemuan. Selanjutnya, komandan AFNEI Letnan Jenderal Stopford (pengganti Letjen Christison) memutuskan bahwa seluruh wilayah Bandung harus dikuasai untuk mencegah serangan susulan. Dari sisi pasukan Inggris, operasi penguasaan seluruh Kota Bandung disebut Operasi Sam.
Ultimatum Kedua
Karena ultimatum pertama tetap menimbulkan gangguan bagi Inggris, pada 17 Maret 1946. Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta. Letnan Jenderal Montagu Stophord, memberikan ultimatum kepada PM Sutan Sjahrir supaya memerintahkan pasukan bersenjata RI meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 km (kilometer) dari pusat kota. Hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal. Di samping itu, pasukan RI tidak boleh melakukan perusakan. Batas ultimatum adalah pada 24 Maret 1946, pukul 24.00. Apabila ultimatum tersebut tidak dilaksanakan. Inggris akan membombardir Bandung Selatan. Selain itu, pihak Sekutu juga menyebarkan pamflet dari pesawat, meminta rakyat Bandung segera meninggalkan kota. Pamflet tersebut juga menyebutkan bahwa selama 14 hari terakhir, serangan pasukan Indonesia telah mengakibatkan lebih dari 100 korban di pihak Sekutu dan tawanan perang, baik korban tewas maupun terluka.
Menanggapi Ultimatum tersebut, Syahrir menugasi Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung. Baik Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintah menolak Ultimatum sebab, sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat. Mereka menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas Ultimatum diperpanjang. Sementara itu, pihak Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang berita Ultimatum tersebut. Sore hari tanggal 23 Maret 1946, Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir. Menurut rencana, bumi hangus akan dilakukan pada tanggal 24 Maret pukul 00.00. Ternyata, bumi hangus dilaksanakan lebih awal yakni pukul 21.00. Gedung pertama yang diledakkan ialah Bank Rakyat. Disusul dengan pembakaran tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega. Anggota TRI membakar sendiri asrama – asrama mereka. Pada malam tanggal 24 Maret 1946 bukan hanya pasukan bersenjata yang meninggalkan kota Bandung dan seketika kota itu terbakar.
Pengungsian warga Bandung |
Pada 24 Maret 1946.
Sejak siang hari, penduduk kota Bandung bergerak secara bergelombang
meninggalkan kota Bandung. Sebagian besar bergerak dari daerah selatan rel
kereta api kearah selatan sejauh 11 km. Jalan raya besar, sepereti Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), Jalan raya
Banjaran (sekarng Jalan Mohamad Toha), Jalan Kopo, dan jalan Buahbatu menjadi
jalan utama yang digunakan untuk mengungsi. Pokoknya melewati sungai citarum.
Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, terus ke daerah Jalan Raya
Banjaran menuju Dayeuhkolot. Di sepanjang jalan cigereleng tampak mayat-mayat
orang NICA lehernya berdarah seperti bekas penyembelihan. Gelombang pengungsian semakin membesar setelah matahari tenggelam di ufuk
barat. Tidak semua penduduk mengungsi dari selatan. Ada juga yang mengungsi dari utara, Barat, dan Timur.
Terdapat beberpa dampak yang timbul dari peristiwa Bandung Lautan Api terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dampak ini tidak hanya terhadap kota Bandung, tetapi juga terhadap politik diplomasi tingkat nasional. Dampak lain dari pengosongan kota Bandung adalah terjadinya pengambilalihan tanah dan rumah penduduk yang ditinggalkan ketika mengungsi oleh pihak lain, khususnya oleh antek-antek NICA. Kebanyakan, para “perampas” tersebut dari kalangan entik Cina. Akibatnya, sering terjadi konflik antara pengungsi yang kembali ke kota Bandung dan “perampas” tanah rakyat tersebut. Dampak selanjutnya, menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan, yaitu berupa sikap anti-Cina. Salah satu aspek penting yang harus di catat dalam peristiwa Bandung Lautan Api adalah kerelaan kaum republikein Bandung mengorbankan harta bendanya, keluar meninggalkan kota. Hal itu merupakan sebuah pengorbanan yang tidak ternilai harganya, demi tegaknya kehormatan dan kedaulatan Republik Rakyat Indonesia.
- Djanoed Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.
- Sitaresmi, Ratnayu. 2002. Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Bandung: Bunaya.
- https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/579/8/UNIKOM_Grian%20Nugra%20Adistia_11.%20Bab%20II.pdf
- http://digilib.uinsgd.ac.id/35556/4/4_bab1.pdf
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/peristiwa-bandung-lautan-api/
- https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sejarah-peristiwa-bandung-lautan-api
Komentar