KONFLIK SIPADAN - LIGITAN

 

Rachma Ahadina Putri (201915500122) - R4B - FIPPS - Pendidikan Sejarah 
Dosen Pengampu: Akhmad Syaekhu Rakhman



    Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia  di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar.  Banyaknya perdebatan dan saling tidak membenarkan satu sama lain membuat penyelesaian konflik berjalan lambat. Sejarah membuktikan bahwasannya sejak dulu kedua negara ini mempunyai hubungan yang tidak harmonis. Konflik ini pada akhirnya banyak melibatkan pihak-pihak luar untuk penanganannya. Hal yang memalukan sebenarnya ketika negara dengan wilayah yang besar terlalu berputar pada perebutan pulau kecil yang tidak berpenghuni tersebut bahkan sampai harus melibatkan pihak ke tiga. Tetapi hal itu harus tetap di lakukan agar konflik yang terjadi tidak menganggu akan terlaksananya kepentingan masing-masing negara.

Peta pulau Sipadan dan Ligitan

    Pulau Sipadan dan Ligitan tidak terdapat didalam peta Indonesia maupun Malaysia. Indonesia pada saat itu berpegang pada UU No. 4 Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia, namun ternyata Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak termasuk Perpu No. 4 Prp tahun 1960 tersebut. Meskipun demikian baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan bagian dari wilayah negara mereka. Akhirnya perundingan bilateral yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia ini tidak berhasil mencapai keputusan hak kepemilikan dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena sengketa ini masih belum bisa mencapai kesepakatan, Indonesia menilai bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menjadikan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan status quo. Sedangkan disisi lain, Malaysia menilai bahwa tidak ada kesepakatan mengenai status quo. Sehingga hal ini menyebabkan perbedaan pengertian bagi kedua negara, karena pada dasarnya status quo tidak tercatat dalam dokumen maupun perjanjian.

     Status quo ini berjalan selama 10 tahun, hingga pada tanggal 21 Desember 1979 dimana Malaysia menunjukkan Peta Baru. Peta tersebut menggambarkan perairan dan batas landas kontinen baru milik Malaysia secara sepihak. Dalam peta tersebut, Malaysia memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai bagian dari negara mereka. Tindakan yang dilakukan oleh Malaysia ini tentunya tidak diterima dan diprotes oleh Indonesia. Beberapa negara tetangga juga keberatan atas tindakan sepihak Malaysia ini. Negara – negara tetangga tersebut adalah Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Cina. Dasar atas tindakan protes ini dikarenakan Peta Baru Malaysia tahun 1979 tersebut tidak memiliki implikasi yuridis. Kemudian pada tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Malaysia di wakili oleh Perdana Menteri baru Malaysia yaitu Mahathir Muhammad, sedangkan Indonesia tetap diwakili oleh Presiden Soeharto. Pertemuan ini terjadi selama tiga tahun berturut – turut, yakni pada tahun 1992, 1993, dan 1994.  

    Setelah melakukan beberapa kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian dan tidak menemukan kesepakatan, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ). Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Special agreement adalah persyaratan prosedural yang memungkinkan mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap kasus yang dibawa ke Mahkamah Internasional. Masalah pokok yang diminta dalam Special Agreement adalah Mahkamah International dapat memutus suatu perkatra berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis, dan bukti-bukti dokumen yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia ke pengadilan. Special agreement juga mencantumkan tentang kesediaan kedua negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan mengikat (Buana, 2007). 

    Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 November 1998. Dengan demikian proses penentuan sengketa dari kedua pulau tersebut di MI mulai berlangsung. Pada tanggal 3-12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dalam hal ini Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia. 

    Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia.

Mahkamah Internasional berpendapat terhadap klaim Indonesia:

  1. Garis 4º 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti” atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). Mahkamah menolak argumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;  
  2. Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan kalau pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau lain seperti Mabul, merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Inggris dan Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus dilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau Sebatik dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan Belanda;
  3. Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi 1891 hal yang meyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan wilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain. Dalam kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;
  4. Mahkamah juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891, apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa Konvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai menetapkan “allocation line” yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang terdapat di wilayah laut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukan batas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timur Pulau Sebatik;
  5. Mahkamah berpendapat bahwa “travaux preparatoires” sebelum Konvensi 1891 serta hal-hal yang berkaitan dengan Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di luar pantai timur Pulau Sebatik;
  6. Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan diatur berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal 12 November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas wilayah Kesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garis yang sudah disetujui Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi 1891, termasuk Pulau Tarakan, Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yang terletak di selatan garis 4 10’ LU. Hal ini tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian Pulau Sebatik; 
  7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batas konsesi minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak tersebut merupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.
 Mahkamah Internasional berpendapat terhadap klaim Malaysia:

  1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
  2.  Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grant Sultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulaupulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22 Januari 1878;
  3. Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwa Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah satusatunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan instrumen hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah juga berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas nama State of Nort Borneo maupun Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;
  4. Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga tidak secara khusus menjelaskan pulaupulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut; 
  5. Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 AS menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Inggris sebagaimana diyakini oleh Malaysia;  
  6. Mahkamah menolak dalil Malaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam mata rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan penulis mengenai, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Permasalahan selanjutnya berawal setelah disepakatinya status quo terhadap wilayah tersebut kemudian Malaysia melakukan kegiatan pemerintahan dan membangun tempat wisata. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo. Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia. Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan untuk menjadikan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah Penyebab lainnya adalah faktor kependudukan. Selama bertahun-tahun, fasilitas-fasilitas yang ada di pulau tersebut adalah milik Malaysia. Indonesia tidak memiliki andil apapun terhadap proses pembangunan yang terjadi di pulau tersebut. 


DAFTAR PUSTAKA:

Postingan populer dari blog ini

Pecahnya "Bandung Lautan Api"